Operasi penyelamatan korban luka parah di lokasi bencana merupakan misi berisiko tinggi yang menuntut bukan hanya kecepatan, tetapi juga kecermatan dalam setiap langkahnya. Palang Merah Indonesia (PMI) mengutamakan keselamatan ganda, yakni keselamatan relawan dan keselamatan korban, melalui implementasi Teknik Penyelamatan Minim Risiko yang terstandarisasi secara internasional. Dalam setiap penugasan, baik evakuasi di reruntuhan pasca-gempa maupun penarikan korban dari arus deras banjir, PMI selalu berpegang pada prinsip ’Keselamatan Penolong Nomor Satu’ untuk memastikan upaya kemanusiaan dapat berlangsung tanpa menimbulkan korban jiwa baru.
Teknik Penyelamatan Minim Risiko ini dimulai dengan penilaian cepat di lokasi kejadian yang dikenal sebagai Hazard Identification dan Risk Assessment. Sebelum satu pun relawan menyentuh korban, tim harus mengevaluasi potensi bahaya susulan (gempa sekunder, longsor, kebocoran gas, kabel listrik putus) dan memastikan area tersebut telah diamankan. Sebagai contoh spesifik, pada operasi penyelamatan pasca-tanah longsor di wilayah Jawa Tengah pada hari Kamis, 17 Oktober 2024, pukul 10.00 WIB, Tim Satuan Tugas (Satgas) Evakuasi PMI hanya diizinkan memasuki zona merah setelah Tim SAR Gabungan, yang mencakup personel dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan 5 anggota Kepolisian Resor setempat, menyatakan area tersebut stabil secara struktural, ditandai dengan pemasangan pita pembatas zona aman.
Dalam menangani korban luka parah, terutama yang dicurigai mengalami cedera tulang belakang atau trauma multipel, PMI menerapkan Teknik Penyelamatan yang mengedepankan prinsip imobilisasi total. Ini adalah langkah krusial untuk mencegah pergerakan yang dapat memperparah cedera, mengubah kondisi yang dapat diselamatkan menjadi kondisi yang fatal. Pengangkatan dan pemindahan korban dari lokasi berbahaya dilakukan menggunakan peralatan khusus, seperti Long Spine Board (LOB) atau Scoop Stretcher, yang menjamin tubuh korban terfiksasi sepenuhnya. Relawan PMI, yang telah mendapatkan pelatihan intensif dalam manajemen trauma, memastikan fiksasi kepala, leher, dan tubuh dilakukan secara simultan. Neck Collar (penyangga leher) wajib dipasang sebelum pemindahan dilakukan.
Setiap relawan PMI diwajibkan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) standar—mulai dari helm keselamatan, sarung tangan khusus, hingga masker dan kacamata pelindung—untuk mengurangi risiko paparan fisik dan infeksi dari cairan tubuh korban. Selain itu, aspek komunikasi menjadi elemen tak terpisahkan dari Teknik Penyelamatan. Koordinator Lapangan PMI, melalui radio komunikasi frekuensi khusus, terus memantau posisi dan kondisi setiap tim di lapangan, memastikan evakuasi berjalan sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Dokumentasi proses evakuasi dan kondisi korban luka menjadi bagian penting yang kemudian diserahkan kepada tim medis di Pos Kesehatan Darurat, menjaga rantai penanganan medis berjalan mulus dan profesional. Dengan standar operasional yang ketat dan pelatihan berkelanjutan, PMI berhasil menjalankan misi kemanusiaan dengan meminimalkan risiko, menyelamatkan nyawa, dan menjaga integritas setiap individu yang terlibat.